BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Selasa, 11 Oktober 2011

Surat Palsu Diduga Picu Kekerasan di Freeport

VIVAnews - Sebuah surat palsu berkop Dewan Perwakilan Rakyat Papua dengan nomor 560/2065 tertanggal 6 Oktober 2011 diduga menjadi pemicu aksi kekerasan di Terminal Freeport, Timika, Papua, pada Senin 10 Oktober 2011. Surat itu membuat para pekerja Freeport yang mogok merasa di atas angin sehingga merangsek masuk ke dalam areal pertambangan.
Surat yang "ditandatangani" Ketua DPR Papua John Ibo itu dijadikan ribuan karyawan yang mogok sebagai dasar rekomendasi hendak masuk ke Areal tambang Freeport, yang kemudian berbuntut terjadinya bentrok. John Ibo sendiri membantah telah mengeluarkan surat itu.
Isi surat palsu itu, mengingatkan manajemen Freeport  menyelesaikan persoalannya dengan karyawan dengan mengedepankan musyawarah mufakat secara internal.
Freeport segera menghentikan penerimaan karyawan baru untuk mengganti karyawan yang mogok. Freeport harus membayar seluruh upah karyawan yang mogok, serta menghentikan untuk sementara proses operasional perusahaan sampai tercapainya suatu kesepakatan yang final.
"Surat itu ilegal dan sama sekali tidak pernah saya tanda tangani," kata John Ibo. "Saya juga tidak mengikuti pertemuan antara SPSI Freeport pimpinan Sudiro dengan Komisi A DPR Papua dan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Timika karena saya saat itu sedang berada di Makassar," ujar John Ibo, Selasa 11 Oktober 2011 di Jayapura.
"DPR Papua tidak dalam kapasitas untuk menghentikan operasi Freeport, karena perusahan itu kontrak karyanya dengan pemerintah pusat, jadi itu wewenang negara," kata dia.
Kata John Ibo, DPR papua, hanya sebatas memediasi karyawan dan manajemen untuk duduk bersama dan berunding mencari kesepakatan. "Tapi ironisnya, surat dengan kop resmi lembaga DPR Papua dan tanda tangan saya dipalsukan, salah satu poinnya menghentikan operasi Freeport," ucap John Ibo.
John Ibo menyatakan, akibat surat palsu itu, semangat ribuan karyawan yang mogok kerja sejak 15 September lalu itu menyala untuk menerobos masuk ke areal Freeport.
"Sebelum bentrok terjadi, informasi yang saya peroleh, ribuan karyawan memaksa masuk ke areal Freeport dengan menyatakan mereka didukung DPR Papua, sambil menunjukan surat rekomendasi tersebut. Jadi kesimpulannya surat yang tidak saya tanda tangani itu menjadi spirit bagi karyawan, untuk memaksa masuk ke areal Freeport dan berujung bentrok. Yang buntutnya saya kemudian dituding sebagai provokator," kata Ibo.
"Sekalipun surat itu jelas palsu, tapi sebagai ketua DPR Papua, saya meminta maaf kepada karyawan Freeport, manajemen Freeport, SPSI dan rakyat Timika,  karena surat ilegal itu menyebabkan terjadinya bentrok, dan menewaskan seorang karyawan," ucapnya.
Sementara Ketua Komisi A Ruben Magai yang memimpin jalannya pertemuan antara karyawan Freeport yang tergabung dalam SPSI pimpinan Sudiro, Disnaker Mimika mengakui, bahwa konsep surat itu memang lahir dari pertemuan tersebut. "Konsep isi surat memang dari DPR Papua, selanjutnya kami serahkan ke sekretaris dewan untuk di register dan ditandatangani ketua, untuk kemudian disebarkan. Jadi, saya juga kaget ternyata surat itu bukan ditandatangani Ketua," ujarnya.
Tapi yang jelas, terlepas dari surat itu bukan ditandatangani Ketua DPR Papua,  Freeport mestinya tidak bertindak sewenang-wenang dan menyalahi aturan, salah satunya menerima karyawan baru, saat ribuan karyawan lain mogok kerja, karena perundingan buntu. "Freeport semestinya melanjutkan perundingan dan mengkomodir tuntutan karyawan," katanya.
Sementara itu jenazah karyawan Freeport yang tewas tertembak yakni    Petrus Ayemseba hingga saat ini masih disemayamkan di gedung DPRD Mimika. Ribuan karyawan tetap menuntut pihak terkait bertanggung jawab atas terbunuhnya rekan mereka. "Kami minta Pemerintah Mimika, DPR, Polisi serta manajemen Freeport hadir dan melihat langsung korban arogansi dari perusahaan," ujar Virgo Solossa Pengurus SPSI Freeport pimpinan Sudiro.
Mengenai langkah selanjutnya dari ribuan karyawan yang mogok, jika keinginan mereka tidak dipenuhi, Virgo menandaskan, pihaknya akan memberikan deadline hingga Rabu 12 Oktober sekitar pukul 07.00 WIT. "Tunggu saja, kalau sampai besok jam 7 pagi, pihak terkait masih selalu membela kepentingan manajemen Freeport, kami akan bertindak," katanya.

Tidak ada komentar: